Kamis, 23 April 2009

Kebutuhan Umat Kita Sekarang Akan Fiqh Prioritas


Kacaunya Timbangan Prioritas pada Umat

Apabila kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisinya --baik dari segi material maupun spiritual, dari segi pemikiran, sosial, ekonomi, politik ataupun yang lainnya-- maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat sudah tidak seimbang lagi.

Kita dapat menemukan di setiap negara Arab dan Islam berbagai perbedaan yang sangat dahsyat, yaitu perkara-perkara yang berkenaan dengan dunia seni dan hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Dalam aktivitas pemudanya kita menemukan bahwa perhatian terhadap olahraga lebih diutamakan atas olah akal pikiran, sehingga makna pembinaan remaja itu lebih berat kepada pembinaan sisi jasmaniah mereka dan bukan pada sisi yang lainnya. Lalu, apakah manusia itu hanya badan saja, akal pikiran saja, ataukah jiwa saja?

Dahulu kita sering menghafal sebuah kasidah Abu al-Fath al-Bisti yang sangat terkenal. Yaitu kasidah berikut ini:

"Wahai orang yang menjadi budak badan, sampai kapan engkau hendak mempersembahian perkhidmatan kepadanya.

Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan dari sesuatu yang mengandung kerugian?

Berkhidmatlah pula kepada jiwa, dan carilah berbagai keutamaan padanya,

Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa dan bukan dengan badan"

Kita juga hafal apa yang dikatakan oleh Zuhair ibn Abi Salma dalam Mu'allaqat-nya:

"Lidah seorang pemuda itu setengah harga dirinya, dan setengah lagi adalah hatinya. Jika keduanya tidak ada pada dirinya, maka dia tiada lain hanya segumpal daging dan darah."

Akan tetapi kita sekarang ini menyaksikan bahwa manusia dianggap sebagai manusia dengan badan dan otot-ototnya, sebelum menimbang segala sesuatunya.

Pada musim panas tahun lalu (1993), tiada perbincangan yang terjadi di Mesir kecuali perbincangan di seputar bintang sepak bola yang dipamerkan untuk dijual. Harga pemain ini semakin meninggi bila ada tawar-menawar antara beberapa klub sepak bola, sehingga mencapai 750.000 Junaih (satuan mata uang Mesir).

Jarang sekali mereka yang mengikuti perkembangan dunia olahraga, khususnya olahraga yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hanya menumpukan perhatian terhadap pertandingan olahraga, khususnya sepak bola yang hanya dimainkan beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya hanya menjadi penonton mereka.

Sesungguhnya bintang masyarakat, dan nama mereka yang paling cemerlang bukanlah ulama atau ilmuwan, bukan pemikir atau juru da'wah; akan tetapi mereka adalah apa yang kita sebut sekarang dengan para aktor dan aktris, pemain sepak bola, dan sebagainya.

Surat kabar dan majalah, televisi dan radio, hanya memperbincangkan kehidupan, tingkah laku, "kejayaan," petualangan, dan berita di sekitar mereka, walaupun tidak berharga. Sedangkan orang-orang selain mereka tidak pernah diliput, dan bahkan hampir dikesampingkan atau dilupakan.

Apabila ada seorang seniman yang meninggal dunia, seluruh dunia gempar karena kematiannya, dan semna surat kabar berbicara tentang kematiannya. Namun apabila ada seorang ulama, ilmuwan, atau seorang profesor yang meninggal dunia, seakan-akan tidak ada seorangpun yang membicarakannya.

Kalau dilihat dari segi material, perhatian mereka kepada dunia olahraga dan seni memakan biaya sangat tinggi; yaitu untuk membiayai publikasi, dan keamanan penguasa, yang mereka sebut sebagai biaya "keamanan negara"; dimana tidak ada seorang pun dapat menolak atau mengawasinya. Mengapa semua itu bisa terjadi?

Pada saat yang sama, lapangan dunia pendidikan, kesehatan, agama, dan perkhidmatan umum, sangat sedikit mendapat dukungan dana; dengan alasan tidak mampu atau untuk melakukan penghematan, terutama apabila ada sebagian orang yang meminta kepada mereka sumbangan untuk melakukan peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menghadapi perkembangan zaman. Persoalannya adalah seperti yang dikatakan orang: "Penghematan di satu sisi, tetapi di sisi lain terjadi pemborosan"; sebagaimana yang pernah dikatakan Ibn al-Muqaffa,: "Aku tidak melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di sampingnya ada hak yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan itu."

Penyimpangan Orang-orang Beragama Dewasa ini dalam Fiqh Prioritas

Penyimpangan terhadap masalah fiqh ini tidak hanya terjadi di kalangan awam kaum Muslimin, atau orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus di kalangan mereka, tetapi penyimpangan itu juga dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, karena tidak adanya fiqh dan pengetahuan yang benar.

Sesungguhnya ilmu pengetahuanlah yang menjelaskan mana perbuatan yang diterima dan mana perbuatan yang ditolak; mana perbuatan yang diutamakan dan mana pula yang tidak diutamakan. Ilmu pengetahuan juga menjelaskan perbuatan yang benar dan juga perbuatan yang rusak; perbuatan yang dikabulkan dan yang ditolak; perbuatan yang termasuk sunnah dan perbuatan yang termasuk bid'ah. Setiap perbuatan disebutkan "harga" dan nilainya, menurut pandangan agama.

Kebanyakan mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu pengetahuan dan arahan dari fiqh yang benar. Mereka telah memusnahkan batas antara pelbagai macam amalan dan tidak membedakannya satu sama lain; atau mereka menetapkannya di luar hukum agama, sehingga ketetapan mereka kurang atau malah berlebihan. Dalam kasus seperti ini, agama akan hilang di tangan orang yang sangat berlebihan dan melampaui batas dan orang yang kurang memiliki pengetahuan tentang agama itu.

Seringkali kita menyaksikan orang-orang seperti ini --walaupun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan-- menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat (marjuh), dan mereka menganggapnya sebagai amalan yang kuat (rajih). Mereka sibuk dengan perbuatan yang bukan utama (mafdhul) dan melalaikan perbuatan yang utama (fadhil).

Kadang-kadang, satu perbuatan itu pada suatu masa dinilai sebagai perbuatan yang utama (fadhil), tetapi pada masa yang lain ia bukan perbuatan yang utama (mafdhul); atau pada suatu suasana tertentu perbuatan itu bisa dinilai kuat (rajih), dan pada kondisi yang lain tidak bisa diterima (marjuh). Akan tetapi, karena pengetahuan dan pemahaman mereka sangat sedikit, maka mereka tidak mampu membedakan antara dua masa dan suasana yang berlainan itu.

Saya pernah melihat orang-orang Muslim yang baik hati, yang mau menyumbang pembangunan sebuah masjid di kawasan yang sudah banyak masjidnya, yang kadang-kadang pembangunan masjid itu memakan biaya setengah atau satu juta Junaih atau satu juta dolar. Akan tetapi bila dia dimintai sumbangan sebesar itu, separuhnya, atau seperempat daripada jumlah itu untuk mengembangkan da'wah Islam, memberantas kekufuran dan kemusyrikan, mendukung kegiatan Islam untuk menegakkan syari'ah agama, atau kegiatan-kegiatan lain yang memiliki tujuan besar, yang kadang-kadang ada orangnya tetapi mereka tidak memiliki dana untuk itu. Orang-orang yang memberi bantuan pembangunan masjid di atas, hampir seperti orang pekak, dan tidak memberikan tanggapan sama sekali karena mereka lebih percaya kepada membangun batu daripada membangun manusia.

Setiap tahun, pada musim haji saya menyaksikan sejumlah besar kaum Muslim yang kaya raya, yang datang berbondong-bondong untuk melaksanakan ibadah sunnah di musim itu, karena mereka telah seringkali melaksanakan ibadah haji, dan melakukan ibadah umrah di bulan Ramadhan. Untuk itu mereka mengeluarkan dana yang cukup besar dengan mudah, tetapi pada saat yang sama banyak orang miskin yang memerlukan bantuan dari mereka. Sebenarnya Allah juga tidak membebankan kewajiban haji dan umrah atas diri mereka.

Akan tetapi, manakala dana tahunan yang mereka keluarkan untuk itu diminta untuk memerangi orang-orang Yahudi di Palestina; membantu kaum Muslimin di Serbia, Bosnia, Herzegovina; atau untuk menghadapi gerakan Kristenisasi di Bangladesh, atau negara-negara Afrika dan negara-negara Asia Tenggara lainnya; atau untuk membangun pusat-pusat Islam atau mencetak kader da'wah yang memiliki spesialisasi di berbagai bidang kehidupan; atau untuk mencetak, menerjemahkan, dan menerbitkan buku-buku Islam yang sangat bermanfaat, mereka memalingkan muka, dan menyombongkan diri.

Padahal telah ada ketetapan dengan jelas di dalam al-Qur'an bahwa jenis perbuatan perjuangan itu lebih utama daripada jenis perbuatan ibadah haji; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. (at-Taubah: 19-21)

Mengapa? Karena ibadah haji dan umrah mereka termasuk sunnah karena mereka telah melakukannya berulang kali; sedangkan perjuangan melawan kekufuran dan kemusyrikan, sekularisasi, dan pemisahan agama dari kehidupan manusia, baik yang didukung oleh kekuatan-kekuatan internal maupun eksternal, merupakan kewajiban kita pada masa sekarang ini.

Pada musim haji dua tahun yang lalu, salah seorang penulis buku Islam yang sangat terkenal, yaitu sahabat saya yang bernama Fahmi Huwaidi, yang menulis makalahnya setiap hari Selasa, mengatakan secara terang-terangan kepada kaum Muslimin, "Sesungguhnya upaya penyelamatan kaum Muslim Bosnia lebih utama daripada kewajiban ibadah haji sekarang ini."

Banyak orang yang bertanya kepada saya ketika mereka membaca makalah itu, sejauh mana kebenaran ucapan itu bila ditinjau dari segi syari'ah agama dan fiqh? Ketika itu saya menjawab mereka:

"Sesungguhnya pernyataan penulis itu benar, dan juga benar bila ditinjau dari sudut fiqh, karena sebenarnya telah ada ketetapan syari'ah yang menyatakan bahwa kewajiban yang perlu dilakukan dengan segera harus didahulukan atas kewajiban yang bisa ditangguhkan. Ibadah haji dalam hal ini adalah ibadah yang mungkin ditangguhkan. Dan dia merupakan kewajiban yang tidak dituntut untuk dilaksanakan dengan segera menurut sebagian imam mazhab. Sedangkan penyelamatan kaum Muslimin Bosnia dari ancaman yang akan memusnahkan mereka karena kelaparan, kedinginan, dan penyakit dari satu segi, dan pemusnahan secara massal dari segi yang lain merupakan kewajiban yang harus segera dilaksanakan. Tindakan penyelamatan ini tidak dapat ditangguhkan, dan tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ia adalah kewajiban yang berkaitan dengan waktu sekarang ini, sekaligus merupakan kewajiban umat Islam secara menyeluruh pada hari ini.

Tidak diragukan lagi bahwa melaksanakan syiar ibadah haji merupakan sebuah kewajiban yang tidak diperselisihkan oleh umat ini. Kita tidak perlu meniadakan ibadah itu pada suatu musim haji, karena ibadah ini dapat dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di sekitar tanah suci, yang tidak perlu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk melaksanakan ibadah ini.

Saya memandang bahwa apa yang dikatakan oleh Prof. Huwaidi dapat terlaksana dengan cara seperti ini. Namun kebanyakan orang-orang yang pergi ke tanah suci pada musim haji setiap tahun adalah orang-orang yang tidak lagi dibebani untuk melaksanakan kewajiban ini, karena mereka telah melakukannya pada masa-masa sebelumnya. Orang-orang yang pergi ke tanah suci dan sebelumnya belum pernah melaksanakan ibadah ini, jumlah mereka tidak lebih dari 15%. Kalau kita asumsikan bahwa jumlah jamaah haji 2.000.000 orang, maka jumlah orang yang baru pertama kali melakukan ibadah ini tidak lebih dari 300.000 orang.

Alangkah baiknya bila dana yang mereka keluarkan untuk ibadah sunnah itu --di mana jumlah mereka adalah mayoritas-- begitu pula orang-orang yang melakukan ibadah umrah sunnah sepanjang tahun, khususnya pada bulan Ramadhan, dialihkan untuk mendanai perjuangan di jalan Allah SWT; atau untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka, muslimin dan muslimat, yang terancam kehancuran secara material maupun spiritual; dan untuk membiayai mereka dalam menghadapi musuh-musuh mereka yang ganas, yang menginjak-injak kehormatan mereka, dan tidak menginginkan keberadaan mereka di dunia ini. Negara-negara di dunia ini sebenarnya melihat dan mendengar keadaan mereka, akan tetapi mereka berdiam diri dan tidak bergerak, karena sesungguhnya kemenangan itu berada di pihak yang kuat-dan bukan kekuatan di pihak yang benar.

Saya menyaksikan sebagian pemeluk agama yang baik di Qatar, dan negara-negara teluk yang lainnya, serta di Mesir yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan syiar agama, yaitu ibadah haji setiap tahun. Saya mengetahui bahwa di antara mereka ada yang telah mengerjakan ibadah haji setiap tahun sejak empat puluh tahun yang lalu. Mereka terdiri atas sekumpulan sanak saudara, handai tolan, dan sahabat karib. Jumlah mereka barangkali mencapai seratus orang. Pada suatu saat, saya mengingatkan mereka, ketika itu saya baru saja tiba dari suatu lawatan ke salah satu negara di Asia Tenggara. Saya menyaksikan bahwa kristenisasi sedang dilakukan secara besar-besaran di sana, dan kaum Muslim sangat memerlukan lembaga-lembaga tandingan untuk menghadapi gerakan tersebut, baik lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan, kedokteran, maupun lembaga yang bergerak di dalam masalah sosial. Saya katakan kepada kawan-kawan yang baik itu:

"Bagaimanakah pendapat kamu kalau seandainya pada tahun ini kamu berniat tidak melakukan ibadah haji, lalu biaya untuk melakukan ibadah haji itu disumbangkan untuk biaya menghadapi kristenisasi. Kalau dari setiap orang yang berjumlah seratus itu menyumbangkan 10.000 Junaih, maka jumlahnya akan menjadi 1.000.000 Junaih. Uang sejumlah itu dapat dipergunakan untuk membangun proyek besar. Dan kalau kita mau memulai perbuatan seperti ini, kemudian kita umumkan kepada khalayak ramai, maka orang-orang akan banyak yang mengikuti perbuatan kita, sehingga kita dapat memperoleh juga pahala orang yang mengikuti perbuatan baik kita."

Akan tetapi sayangnya, saudara-saudara kita itu menjawab, "Sesungguhnya kami ini bila bulan Zulhijjah tiba, kami merasa sangat bergembira, kami tidak dapat menahan kerinduan untuk melakukan ibadah haji. Kami merasa bahwa ruh-ruh kami dibawa ke sana. Kami merasa sangat berbahagia bila kami ikut melaksanakan ibadah haji setiap musim bersama para jamaah haji yang lainnya."

Bisyr al-Hafi pernah mengatakan, "Kalau kaum Muslimin mau memahami, memiliki keimanan yang benar, dan mengetahui makna fiqh prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia dapat mengalihkan dana ibadah haji itu untuk memelihara anak-anak yatim, memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan orang-orang yang terlantar, mengobati orang sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur."

Saya pernah melihat para remaja yang tekun belajar pada kuliah kedokteran di perguruan tinggi, fakultas teknik, fakultas pertanian, fakultas sastra, atau fakultas-fakultas ilmu-ilmu umum yang lainnya. Mereka berjaya dan memiliki prestasi yang gemilang, akan tetapi tidak lama kemudian mereka meninggalkan bangku fakultas-fakultas tersebut, dan merasa tidak sayang untuk meninggalkannya; dengan alasan untuk ikut serta melakukan da'wah dan tabligh; padahal spesialisasi yang mereka jalani termasuk ilmu-ilmu fardhu kifayah, di mana umat akan menderita bila tidak ada seorangpun di antara mereka yang memiliki keahlian pada bidang-bidang tersebut. Di samping itu, mereka juga dapat menjadikan amal perbuatan dalam bidang kehidupannya sebagai ibadah dan perjuangan apabila mereka melakukannya sebaik mungkin dan disertai dengan niat yang baik, serta mengikuti batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Jika setiap muslim meninggalkan profesi mereka, lalu siapa lagi yang hendak melakukan perbuatan yang membawa kemaslahatan untuk kaum Muslimin? Sesungguhnya Rasulullah saw dan para sahabatnya melakukan pekerjaan dalam pelbagai bidang. Rasulullah saw tidak pernah meminta salah seorang di antara sahabatnya untuk meninggalkan profesinya agar dia dapat ikut serta dalam berda'wah. Hal ini dilakukan oleh beliau agar setiap orang tetap berada pada profesinya masing-masing, baik sebelum atau sesudah hijrah. Orang-orang yang meninggalkan profesi mereka itu apabila diajak untuk melakukan peperangan di jalan Allah, mereka melarikan diri dan merasa berat sekali melangkahkan kakinya untuk berjuang membela agama Allah SWT dengan harta benda dan jiwa mereka.

Imam al-Ghazali tidak setuju dengan orang-orang yang hidup sezaman dengannya, di mana orang-orang hanya belajar fiqh dan sejenisnya, padahal pada masa yang sama di negeri mereka tidak ada seorang dokterpun kecuali dokter Yahudi atau Nasrani. Semua kaum Muslimin berobat kepada mereka. Ruh dan aurat mereka diserahkan sepenuhnya kepada para dokter itu, kemudian mereka melanggar ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh agama ini; seperti bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa, dan bolehnya bertayammum bagi orang-orang yang sedang terluka.

Saya juga menyaksikan kelompok kaum Muslimin lainnya yang setiap hari bertengkar untuk mempertahankan diri dalam masalah-masalah juz'iyah atau masalah-masalah khilafiyah; dan di sisi lain mereka melalaikan perjuangan Islam yang lebih besar dalam melawan musuh-musuhnya yang sangat dengki, benci, tamak, takut kepadanya, dan senantiasa mengintainya.

Bahkan, kaum minoritas dan imigran yang tinggal di belahan negara Barat (Amerika, Canada, dan Eropa) ada di antara mereka yang sebagian besar perhatiannya hanya tertumpu kepada masalah jam tangan di mana dia harus dikenakan, apakah di tangan kiri atau di tangan kanan?

Mengenakan pakaian putih sebagai ganti daripada baju dan pantalon; apakah hal ini wajib ataukah sunnah hukumnya? Kemudian masuknya perempuan ke masjid; apakah halal ataukah haram hukumnya?

Makan di atas meja sambil duduk di atas kursi, dengan menggunakan sendok dan garpu, apakah hal-hal seperti ini termasuk menyerupai tingkah laku orang-orang kafir ataukah bukan?

Dan masalah-masalah lainnya yang banyak menyita waktu, serta lebih cenderung memecah belah persatuan umat, menciptakan kebencian dan jurang pemisah di antara mereka, serta menghabiskan energi dengan sia-sia, karena energi itu dihabiskan untuk sesuatu yang tanpa tujuan, dan perjuangan tanpa musuh.

Saya melihat beberapa orang pemuda yang tekun melakukan ibadah, tetapi mereka memperlakukan bapak, ibu, dan saudara-saudara mereka dengan keras dan kasar. Dengan dalih bahwa mereka semua adalah pelaku-pelaku kemaksiatan atau menyimpang dari ajaran agama. Para pemuda itu telah lupa bahwasanya Allah SWT mewasiatkan kepada kita untuk berlaku baik terhadap kedua orangtua kita walaupun kedua orangtua kita musyrik dan berusaha untuk membuat kita menjadi musyrik, serta membikin fitnah terhadap agama Islam.

Allah SWT berfirman:

"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik ..." (Luqman: 15)

Walaupun kedua orangtua kita terus-menerus berusaha mengajak kita kepada kemusyrikan, di mana al-Qur'an menyebutkan dengan istilah "memaksa", namun al-Qur'an tetap menganjurkan kita untuk meperlakukan mereka dengan cara yang baik. Karena sesungguhnya kedua orangtua kita memiliki hak yang paling tinggi dan tidak tertandingi kecuali oleh hak Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:

"... Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu." (Luqman: 14)

Mentaati kedua orangtua untuk melakukan kemusyrikan tidak dibenarkan oleh Islam. "Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam melakukan kemaksiatan terhadap sang Pencipta." Adapun memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya merupakan satu keharusan yang tidak ada jalan bagi kita untuk menghindarinya.

Selain itu, Allah SWT juga mewasiatkan kepada kita untuk memelihara hubungan silaturahim dan memperlakukan sanak saudara kita dengan baik, sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya:

"... Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (an-Nisaa': 1)

Pada masa-masa kemunduran, banyak kaum Muslimin yang terjebak pada suatu perbuatan yang hingga hari ini masih mereka lakukan; di antaranya ialah:



Mereka tidak mengindahkan --sampai kepada suatu batas yang sangat besar-- fardhu-fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat secara menyeluruh. Seperti peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, perindustrian, dan kepiawaian dalam peperangan, yang dapat menjadikan umat betul-betul mandiri, dan tidak hanya berada di dalam slogan dan omong kosong belaka; ijtihad dalam masalah fiqh dan penyimpulan hukum; penyebaran da'wah Islam, pendirian pemerintahan yang disepakati bersama berdasarkan janji setia (bai'at) dan pemilihan yang bebas; melawan pemerintahan yang zalim dan menyimpang dari ajaran Islam.



Di samping itu, mereka juga mengabaikan sebagian fardhu 'ain, atau melaksanakannya tetapi tidak sempurna. Seperti melaksanakan kewajiban amar ma'ruf dan nahi mungkar, di mana Islam menyebutnya terlebih dahulu sebelum menyebut persoalan shalat dan zakat ketika ia menjelaskan sifat-sifat masyarakat yang beriman. Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, dan mencegah kemungkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, ..." (at-Taubah: 71)

Padahal, sebetulnya amar ma'ruf dan nahi mungkar ini merupakan sebab utama yang membawa kebaikan umat, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makfur, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (Ali 'Imran: 110)

Pengabaian fardhu 'ain ini pernah menyebabkan turunnya laknat atas bani Israil, melalui lidah para nabi mereka:

"Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (al-Maidah: 78-79)



Perhatian mereka tertumpu kepada sebagian rukun Islam lebih banyak dibanding perhatian mereka kepada sebagian rukun yang lain. Ada di antara mereka yang memperhatikan puasa lebih banyak daripada perhatian terhadap shalat. Dan oleh karena itu, kita hampir tidak menemukan orang Muslim lelaki dan perempuan yang makan di siang hari Ramadhan; khususnya di desa-desa pedalaman.

Akan tetapi ada kaum Muslimin --khususnya dari kalangan perempuan-- yang malas melakukan shalat. Dan ada orang yang selama hidupnya tulang punggungnya tidak pernah membungkuk untuk ruku' dan sujud kepada Allah. Di samping itu, ada pula orang yang perhatiannya tertumpu kepada shalat lebih banyak daripada perhatian yang dia berikan terhadap zakat; padahal Allah SWT selalu mengaitkan kedua rukun Islam itu di dalam kitab suci-Nya, al-Qur'an dalam dua puluh delapan tempat. Sehingga Ibn Mas'ud mengatakan, "Kita diperintahkan untuk mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Dan barang siapa yang tidak mengeluarkan zakat, maka tidak ada gunanya shalat bagi dirinya."1

Abu Bakar as-Shidiq pernah berkata, "Demi Allah, aku akan memerangi orang-orang yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat."2

Para sahabat Nabi saw juga sepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat, sebagaimana mereka memerangi orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi dan orang-orang murtad yang mengikuti mereka. Negara Islamlah yang pertama kali melakukan peperangan dalam sejarah untuk membela hak-hak orang miskin.



Mereka memperhatikan sebagian perbuatan sunnah lebih daripada perhatian mereka terhadap perbuatan yang fardhu dan wajib; sebagaimana yang bisa kita saksikan di kalangan pemeluk agama ini. Para pemeluk agama ini banyak yang memperbanyak zikir, tasbih, dan wirid, tetapi mereka melupakan fardhu yang diwajibkan atas mereka; yaitu perbuatan fardhu yang bersifat sosial; seperti: memperlakukan kedua orangtua dengan baik, silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi orang-orang yang lemah, memelihara anak yatim dan orang-orang miskin, menyingkirkan kemungkaran, dan menyingkirkan kezaliman sosial dan politik.



Mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memperdulikan ibadah-ibadah individual, seperti shalat dan zikir, dibanding perhatian yang diberikan kepada ibadah-ibadah sosial yang besar sekali faidahnya, seperti jihad, fiqh, memperbaiki jalinan silaturahim di antara manusia --khususnya famili-- bekerja sama dalam melakukan kebaikan dan ketaqwaan, saling menasihati dalam melakukan kesabaran dan kasih sayang, menganjurkan kepada keadilan dan musyawarah, memelihara hak-hak asasi manusia, khususnya memberikan perlindungan kepada orang-orang yang lemah.



Akhir-akhir ini kebanyakan di antara mereka memiliki kecenderungan untuk mempedulikan masalah-masalah furu'iyah dan mengabaikan masalah-masalah pokok. Padahal, para pendahulu kita telah mengatakan, "Barangsiapa mengabaikan pokok, maka dia tidak akan pernah sampai kepada tujuannya." Mereka melalaikan fondasi bangunan secara keseluruhan, yakni aqidah, iman, tauhid, dan keikhlasan dalam membela agama Allah.



Di antara kesalahan yang mereka lakukan juga ialah kesibukan kebanyakan manusia dalam memerangi hal-hal yang makruh dan syubhat lebih banyak dibandingkan dengan kesibukan mereka memerangi hal-hal yang diharamkan dan telah menyebar luas di kalangan mereka atau mengembalikan kewajiban yang telah hilang.

Contohnya ialah kesibukan mereka tentang perkara yang masih diperselisihkan halal dan haramnya dan tidak memperhatikan hal-hal yang telah dipastikan haramnya. Ada orang yang senang sekali memperhatikan masalah-masalah khilafiyah ini, seperti masalah mengambil gambar, dan bernyanyi. Seakan-akan mereka tidak memiliki perhatian lain selain kepada hal-hal yang sedang berkecamuk di sekeliling mereka, serta menggiring manusia kepada pendapat mereka. Pada saat yang sama, mereka lupa terhadap problem yang lebih besar berkaitan dengan keberlangsungan umat yang pada saat ini cukup mengkhawatirkan.



Termasuk dalam kategori ini ialah perhatian mereka yang sangat besar untuk menyingkirkan dosa-dosa kecil dan melalaikan dosa-dosa besar yang lebih berbahaya, baik dosa-dosa besar yang berkaitan dengan ajaran agama, seperti peramalan, sihir, perdukunan, menjadikan kuburan sebagai masjid, nazar, menyembelih untuk orang mati, meminta tolong kepada orang-orang yang telah dikuburkan, meminta kepada mereka untuk memenuhi segala keperluan hidupnya, dan meminta mereka untuk menghindarkan diri mereka dari bencana, ataupun dosa-dosa lainya yang berupa penyelewengan sosial dan politik; seperti mengabaikan musyawarah dan keadilan sosial; hilangnya kebebasan dan hak asasi manusia, dan kehormatannya; penyerahan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya; penyelewengan hasil pemungutan suara; perampasan kekayaan umat; meneruskan kehidupan berkasta; dan tersebarnya pemborosan dan kemewahan yang merusak mental umat.

Kesalahan besar ini telah merambah umat kita pada saat ini dalam persoalan yang berkaitan dengan parameter prioritas, sehingga mereka menganggap kecil hal-hal yang besar, membesar-besarkan hal-hal yang kecil, mementingkan hal-hal yang remeh, dan meremehkan hal-hal yang penting, menunda perkara yang seharusnya didahulukan, dan mendahulukan perkara yang seharusnya diakhirkan, mengabaikan yang fardhu dan memperhatikan yang sunnah, mempedulikan dosa-dosa kecil dan mengabaikan dosa-dosa besar, berjuang mati-matian untuk masalah-masalah khilafiyah dan tidak mengambil tindakan terhadap perkara-perkara yang telah disepakati... Semua ini membuat umat pada saat ini sangat perlu --dan bahkan sudah sampai kepada batas darurat-- terhadap "fiqh prioritas" yang harus segera dimunculkan, didiskusikan, diperbincangkan, dan dijelaskan, sehingga bisa diterima oleh pemikiran dan hati mereka, juga agar mereka memiliki pandangan yang jelas dan wawasan yang luas untuk melakukan perbuatan yang paling baik.


Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' (3:62). Dia berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani di dalam al-Kabir dengan isnad yang shahih.

2 Diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih dari Abu Hurairah r. a. sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wal-Marjan yang disepakati ke-shahihannya oleh Bukhari dan Muslim (hadits no. 13).





FIQH PRIORITAS : Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta. Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M
media.isnet.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar