Kamis, 23 April 2009

Apakah Memakai Cadar Itu Wajib?


Pertanyaan

Saya telah membaca tulisan Ustadz yang membela cadar dan menyangkal pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar itu bid'ah, tradisi luar yang masuk ke dalam masyarakat Islam, dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga menjelaskan bahwa pendapat yang mewajibkan cadar bagi wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat terhadap persoalan cadar dan wanita-wanita bercadar, meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar.

Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah bersikap moderat mengenai wanita bercadar ini dari wanita yang suka buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi tidak bercadar) dan saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk terhadap kawan-kawan mereka yang selalu menyerukan cadar. Mereka yang dari waktu ke waktu tidak henti-hentinya menjelek-jelekkan kami, karena kami tidak menutup wajah. Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah karena wajah merupakan pusat keindahan (kecantikan). Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa kami telah menentang Al-Qur'an dan As-Sunnah serta petunjuk salaf karena kami membiarkan wajah terbuka.

Kadang-kadang celaan ini dialamatkan kepada Anda sendiri, karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela cadar. Demikian pula yang dialamatkan kepada Fadhilah asy-Syekh Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama mengemukakan sanggahan terhadap beliau melalui beberapa surat kabar di negara-negara Teluk.

Kami harap Anda tidak menyuruh kami untuk membaca kembali tulisan Anda dalam kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab tersebut sudah terdapat keterangan yang memadai. Namun, kami masih menginginkan tambahan penjelasan lagi untuk memantapkan hujjah, menerangi jalan, menghilangkan udzur, menghapuskan keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan polemik dan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini.

Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan tulisan Anda.


Jawaban :

Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.

Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.

Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada diantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh pada agamanya, dan ikhlas.

Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam. Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang akan diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang melanggarnya).

Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih ada kemungkinan untuk mengambil zhahir nash atau kandungannya, yang tersurat atau yang tersirat, yang rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.

Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang bersikap longgar seperti Ibnu Abbas; dan selama diantara mereka masih ada orang yang menunaikan shalat ashar di tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya melainkan di perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).

Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan orang yang keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang mengatakan, "Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar."

Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.

Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan saya akan mengulangi tema tersebut dengan menambahkan penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada saya hingga mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat memutuskan perselisihan atau - minimal - mengurangi ketajamannya, yang melunakkan kekerasannya sehingga hati wanita yang berhijab (tetapi tidak bercadar) merasa riang dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk memakainya).


Memperlihatkan Muka Dan Tangan Menurut Pendapat Jumhur Ulama

Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, karena di kalangan ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah masyhur dan tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a.

Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat terhadap pendapat yang dikemukakan seorang da'i kondang Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa buku dan makalahnya. Mereka beranggapan seakan-akan beliau membawa bid'ah atau pendapat baru, padahal sebenarnya apa yang beliau kemukakan itu merupakan pendapat imam-imam yang mu'tabar dan fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang beliau kemukakan merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar, disandarkan pada penalaran dan i'tibar, dan didukung pula oleh realitas dalam beberapa zaman.


Mazhab Hanafi

Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.

Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )

Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud ayat tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya (bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin). Hal ini sebagaimana telah saya jelaskan bahwa celak, cincin, dan macam-macam perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun orang lain. Maka yang dimaksud disini ialah 'tempat perhiasan' itu, dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya.

Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia bukanlah aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan timbulnya syahwat karena melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.

Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk dipandang, bukan untuk shalat.1


Mazhab Maliki

Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:

"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."

Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya, "Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar maupun bagian dalam (tangan itu), tanpa maksud berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian maka hukumnya haram."

Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah dan kedua tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.

Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.

Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2


Mazhab Syafi'i

Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan:

"Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan kedua telapak tangannya.'3

Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang ihram mengenakan kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah dan telapak tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, juga karena dorongan kebutuhan untuk menampakkan wajah pada waktu jual beli, serta perlu menampakkan tangan untuk mengambil dan memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini tidak dianggap aurat.

Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara ulama Syafi'iyah ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa telapak kaki bukanlah aurat. Al-Muzani berkata, 'Telapak kaki itu bukan aurat.' Dan pendapat mazhab adalah yang pertama."5


Mazhab Hambali

Dalam mazhab Hambali kita dapati Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya al-Mughni (1: 601) sebagai berikut: Tidak diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka wajahnya dalam shalat, dan dia tidak boleh membuka selain wajah dan telapak tangannya. Sedangkan mengenai telapak tangan ini ada dua riwayat.

Para ahli ilmu berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka sepakat bahwa ia boleh melakukan shalat dengan wajah terbuka. Dan mereka juga sepakat bahwa wanita merdeka itu harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat, dan jika ia melakukan shalat dalam keadaan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangmya.

Imam Abu Hanifah berkata, "Kaki itu bukan aurat, karena kedua kaki itu memang biasanya tampak. Karena itu, ia seperti wajah."

Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam Syafi'i berkata, "Seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali muka dan tangannya, dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam menafsirkan ayat ,dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan telapak tangan."

Selain itu, karena Nabi saw. melarang wanita berihram memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah dan tangan itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, karena diperlukan membuka wajah dalam urusan jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang) dan memberikan sesuatu.

Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat, karena diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu aurat." Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau berkata, "Hadits hasan sahih." Tetapi beliau memberinya rukhshah (keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya karena jika ditutup akan menimbulkan kesulitan. Dan diperbolehkan melihatnya pada waktu meminang karena wajah itu merupakan pusat kecantikan. Dan ini adalah pendapat Abu Bakar al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat hingga kukunya."

Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.


Mazhab-mazhab Lain

Dalam menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang masalah aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':

Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Abu Hanifah, al-Auza'i, Abu Tsaur, dan segolongan ulama, serta satu riwayat dari Imam Ahmad.

Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani berkata "Kedua kakinya juga bukan aurat."

Imam Ahmad berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya saja"6

Ini juga merupakan pendapat Daud sebagaimana dikemukakan dalam Nailul Authar (2: 55).

Adapun Ibnu Hazm, maka beliau mengecualikan wajah dan telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.

Ini juga merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi'in sebagaimana yang tampak jelas dalam penafsiran mereka terhadap ayat "apa yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur: 31).


Dalil-dalil Golongan Yang Memperbolehkan Membuka Wajah Dan Telapak Tangan


Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat tidak wajib memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan - yaitu jumhur ulama - seperti berikut ini, dan insya Allah hal ini sudah memadai.

Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya."

Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan telapak tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan yang serupa dengannya."

Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur.

Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak dan cincin."

Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin, anting-anting, dan kalung."

Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "pemerah kuku dan cincin."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "wajah, telapak tangan, dan cincin."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "raut wajah dan telapak tangan."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa tampak itu, lalu beliau menJawab, "gelang dan cincin." Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan ujung lengan bajunya.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut beliau yang dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara dua tulang selangka)."

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat tersebut dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama dengan penafsiran "kedua telapak tangan dan wajah."

Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat tersebut dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut Qatadah, "Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw. bersabda:



"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini, seraya beliau memegang separo lengannya."

Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip perkataan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" adalah "cincin dan gelang."

Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan dari saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail, pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling." Lalu Aisyah berkata "Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu." Kemudian beliau bersabda:



"Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."

Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan sepanjang segenggam tangan."7

Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud berkata, "Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan jilbab."

Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih (kuat), karena pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" itu datang setelah larangan menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau menghilangkan kesulitan, karena tampak atau terlihatnya pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh karena itu, pendapat ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh karena itu, tepatlah apabila istitsna' (pengecualian) itu kembali kepadanya.

Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi saw. berpaling seraya berkata:



"'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua tangannya."

Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan hujjah karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia mempunyai syahid (pendukung) dari hadits Asma binti Umais sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa', Shahih al-Jam'i ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.



Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah Allah berfirman:



"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31)

Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru, yaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk jamak dari kata jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.

Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan mereka menutup dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan ayat ini Ibnu Hazm berkata, "Maka Allah Ta'ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menutupkan kerudungnya ke dadanya, dan ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah, dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."8



Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan

Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan pandangannya. Firman Allah:



"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (an-Nur: 30)

Sabda Nabi saw.:



"Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk kamu surga, yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"9

"Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan melakukan pandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yang kedua."10

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..." (HR al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)

Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?



Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu"

Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:



"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu..." (al-Ahzab: 52)

Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?



Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat wanita lantas ia tertarik kepadanya."

Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka.

Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya, kemudian beliau mendatangi Zainab - istrinya - yang waktu itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan hasratnya, dan beliau bersabda:



"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan pergi dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarik kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam hatinya itu." (HR Muslim)11

Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu Mas'ud, tetapi istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah "Saudah," dan beliau bersabda:



"Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik hatinya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa yang dimiliki wanita itu ada pula pada istrinya."

Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah al-Anmari bahwa Nabi saw. bersabda:



"Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah seorang istri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah hendaknya yang kamu lakukan, karena diantara tindakanmu yang ideal ialah melakukan sesuatu yang halal."12

Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya hadits ini menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas hatinya tertarik kepadanya ..." Maka menunjukkan bahwa hal ini mudah terjadi dan biasa terjadi.



Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan mengarahkannya."

Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya datang hendak memberikan diri saya kepadamu." Lalu Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw. tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk.

Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya (memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah).

Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan disebutkan bahwa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada waktu dia datang. Maka sebagian sahabat yang hadir dan melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. agar menikahkannya dengan wanita itu.



Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas

Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw. pada waktu haji wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan kelanjutan hadits itu, "Kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain."

lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah dengan sebanyak-banyaknya."

Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a. yang di situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau putar leher anak pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'"

Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."13

Al-Allamah asy-Syaukani berkata:

"Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi saw. tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas tidak memahami bahwa memandang itu boleh, niscaya ia tidak akan bertanya, dan seandainya apa yang dipahami Abbas itu tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya."

Selanjutnya beliau berkata:

"Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya): "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (al-Ahzab: 53).

Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada tahun kelima hijrah,14 (yang berarti ayat ini lebih dulu turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).



Hadits-hadits Lain

Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah .... Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:

"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami)."

Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka, melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal."

Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat, kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan (perhiasannya) ke pakaian Bilal."

Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw. melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita itu bukan aurat."15

Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir:

"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,' dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."16

Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas dan melemparkan cincin-cincin itu."17

Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat, sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari masih gelap."

Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat dikenal apabila wajah mereka terbuka.

Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa Subai'ah binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah, salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad meninggal dunia pada waktu haji wada' ketika Subai'ah sedang hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad itu dia pun melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu datanglah Abus Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya "Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin kawin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kawin, sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia berkata begitu kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa aku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin apabila sudah ada calon yang cocok untukku."

Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak.

Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang laki-laki dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melewati suatu dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda:

"Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar."18

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur dinding karena memandangnya dan berdarah mukanya.



Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar

Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan pertanyaan,

Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata, "Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku ..."19

Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan "memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?"

Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu, karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak perlu ditanyakan 'illat-nya."



Tuntutan Muamalah Mengharuskan Mengenal/Mengetahui Pribadi yang Bersangkutan

Muamalah (pergaulan) seorang wanita dengan orang lain dalam berbagai persoalan hidup mengharuskan pribadinya dikenal oleh orang-orang yang bermuamalah dengannya, baik sebagai penjual maupun pembeli, yang mewakilkan maupun yang menjadi wakil, menjadi saksi, penggugat, ataupun tergugat. Karena itu, para fuqaha telah sepakat bahwa seorang wanita harus membuka wajahnya apabila sedang beperkara di muka pengadilan, sehingga hakim bisa mengetahui personalia saksi dan orang-orang yang beperkara. Seseorang (wanita) tidak mungkin dapat diketahui atau dikenal identitasnya jika sebelumnya wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat. Maka tidak ada artinya bagi seorang wanita membuka wajahnya di sidang pengadilan jika sebelumnya memang tidak pernah dikenal oleh masyarakat di sekitarnya.

Dalil-dalil Golongan yang Mewajibkan Cadar


Setelah kita mengetahui dalil-dalil cemerlang dari jumhur ulama, sekarang kita coba lihat dalil-dalil golongan minoritas yang menentangnya.

Sebetulnya saya tidak menemukan - bagi golongan yang mewajibkan cadar dan menutup muka dan tangan - dalil syara' yang shahih tsubut (jalan periwayatannya) dan sharih dilalahnya (jelas petunjuknya) yang selamat dari sanggahan, yang sekiranya dapat melapangkan dada dan menenangkan hati.

Semua dalil mereka merupakan nash-nash yang mutasyabihat (samar) yang ditolak oleh nash-nash muhkamat dan bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas dan terang.

Berikut ini saya kemukakan beberapa dalil yang mereka anggap paling kuat berikut sanggahan saya terhadapnya.



Penafsiran sebagian ahli tafsir terhadap ayat "jilbab" yang termaktub dalam firman Allah berikut:



"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab: 59)

Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf mengenai penafsiran "mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka" bahwa mereka menutupkan jilbab mereka ke seluruh wajah mereka, dan tidak ada yang tampak sedikit pun kecuali sebelah matanya untuk melihat.

Penafsiran tersebut di antaranya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Ubaidah as-Salmani. Tetapi, tidak ada kesepakatan mengenai makna "jilbab" dan "mengulurkan" dalam ayat tersebut.

Yang mengherankan justru dijumpai penafsiran dari Ibnu Abbas yang bertentangan dengan penafsiran tersebut ketika menafsirkan firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" (an-Nur: 31). Yang lebih mengherankan lagi ialah sebagian ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan surat al-Ahzab, tetapi mereka memilih penafsiran yang justru bertentangan dengan penafsiran surat an-Nur.

Didalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadits Ummu Athiyah tentang shalat Id (artinya): "Salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab ..." Imam Nawawi berkata: "An-Nadhr bin Syamil berkata, 'jilbab itu ialah kain (pakaian) yang lebih pendek tetapi lebih lebar daripada kerudung, yaitu tutup kepala yang dipakai wanita untuk menutup kepalanya. Ada juga yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang luas tetapi masih dibawah selendang, yang digunakan oleh wanita untuk menutup dada dan punggungnya. Ada pula yang mengatakannya seperti selimut. Ada yang mengatakannya sarung, serta ada pula yang mengatakannya kerudung."20

Tetapi bagaimanapun, sesungguhnya firman Allah "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak memastikan menutup wajah, baik dilihat dari segi bahasa maupun dari segi adat kebiasaan, dan tidak ada satu pun dalil dari Al- Qur'an As-Sunnah, maupun ijma, yang menetapkan begitu. Disamping itu pendapat sebagian ahli tafsir bahwa ayat itu memastikan menutup muka, bertentangan dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan bahwa ayat itu tidak menetapkan menutup muka, sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang Adhwa'ui Bayan rahimahullah.

Dengan demikian, pengajuan ayat tersebut sebagai dalil untuk menetapkan kewajiban menutup wajah menjadi gugur.



Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan firman Allah: "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya," bahwa apa yang biasa tampak dari perhiasan itu ialah selendang dan pakaian luar.

Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran yang sahih dari sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Anas, dan para tabi'in bahwa yang dimaksud ialah celak dan cincin, atau bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin, yakni wajah dan tangan. Ibnu Hazm mengemukakan bahwa ketetapan riwayat dari sahabat mengenai penafsiran ini sangat sahih.

Penafsiran (yang kedua) ini didukung oleh keterangan yang dikemukakan oleh Al-Allamah Ahmad bin Ahmad Asy-Syanqithi di dalam kitab Mawahibul Jalil min Adillati Khalil, beliau berkata, "Barangsiapa yang bergantung pada penafsiran Ibnu Mas'ud terhadap ayat 'kecuali yang biasa tampak daripadanya' bahwa yang dimaksud ialah selimut, maka dapat diberi jawaban: sebaik-baik perkara untuk menafsirkan Al-Qur'an adalah Al-Qur'an, dan Al-Qur'an menafsirkan zinatul mar'ah dengan al-huliyi (perhiasan). Allah SWT berfirman:



"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31 )21

Maka nyatalah bahwa arti zinatul mar'ah ialah perhiasan (gelang kaki dan sebagainya).22

Ini diperkuat pula dengan apa yang saya katakan sebelumnya bahwa pengecualian dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk memberi keringanan dan kemudahan. Sedangkan terlihatnya pakaian luar seperti selimut dan sebagainya itu merupakan sesuatu yang pasti terlihat, bukan rukhshah (keringanan) juga bukan pemberian kemudahan.



Apa yang dikemukakan oleh pengarang Adhwa'ul Bayan tentang berdalil dengan firman Allah mengenai istri-istri Nabi:



"... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ..." (al-Ahzab: 53)

Sesungguhnya penetapan 'illat dari Allah terhadap hukum mewajibkan hijab - karena hati laki-laki dan perempuan akan lebih suci dari keragu-raguan sebagaimana tersebut dalam firman-Nya "yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" - merupakan indikasi yang jelas yang menunjukkan tujuan hukum. Karena tidak ada seorang pun diantara kaum muslimin yang mengatakan bahwa selain istri-istri Nabi saw. tidak memerlukan kesucian hati (tidak perlu disucikan hatinya) dari keraguan/kecurigaan.

Namun demikian, apabila orang mau merenungkan makna dan susunan kalimat ayat tersebut niscaya akan dia dapati bahwa "kesucian yang disebutkan sebagai 'illat hukum bukanlah dari keraguan mereka (para istri Nabi saw.), sebab keraguan semacam ini jauh dari mereka yang memiliki kedudukan demikian luhur. Selain itu, tidak terbayangkan jika di hati ummahatul mu'minin serta para sahabat - yang masuk ke tempat mereka - terdapat keraguan atau kecurigaan seperti itu. Tetapi kesucian itu semata-mata dari memikirkan perkawinan yang halal yang kadang-kadang memang terlintas dalam hati salah satu pihak - sepeninggal Rasulullah saw.

Sedangkan argumentasi mereka dengan ayat "maka mintalah kepada mereka dari belakang tabir" tidaklah benar, karena hal ini khusus mengenai istri-istri Nabi sebagaimana yang tampak dengan jelas. Demikian juga, perkataan mereka: ("Yang dipakai ialah keumuman lafal, bukan khusus yang berkaitan dengan sebabnya") tidaklah berlaku disini, sebab lafal ayat tersebut bukan lafal umum. Begitupun halnya dengan qiyas yang mereka lakukan - yang menyamakan semua wanita dengan istri-istri Nabi-merupakan qiyas yang tertolak. Qiyas seperti itu termasuk qiyas ma'a al-faariq (qiyas yang berantakan, tidak memenuhi syarat), karena mereka (istri-istri Nabi) terkena hukum yang berat yang tidak dikenakan kepada selain mereka. Karena itu Allah berfirman:



"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain ..." (al-Ahzab: 32)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:



"Janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan."23

Hadits tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan sudah terkenal di kalangan wanita yang tidak sedang ihram.

Saya tidak menyangkal bahwa sebagian wanita mengenakan cadar dan kaos tangan atas kemauan mereka sendiri, ketika tidak sedang melakukan ihram. Tetapi, mana dalil yang menunjukkan bahwa yang demikian itu wajib? Bahkan kalau peristiwa atau hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan yang sebaliknya, maka itulah yang rasional, sebab larangan-larangan dalam ihram itu pada asalnya adalah mubah, seperti mengenakan pakaian yang berjahit, wangi-wangian, berburu, dan sebagainya. Tidak ada sesuatu pun yang asalnya wajib kemudian dilarang dalam ihram.

Karena itu, banyak fuqaha - sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya - yang justru berdalil dengan hadits ini untuk menetapkan bahwa wajah dan tangan itu bukan aurat; sebab kalau tidak demikian maka tidak mungkin beliau mewajibkan membukanya (pada waktu ihram).



Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Aisyah, ia berkata:



"Ada beberapa orang yang menunggang kendaraan yang melewati kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah saw.. Apabila mereka berpapasan dengan kami, masing-masing kami mengulurkan jilbabnya dan kepalanya ke atas wajahnya, dan apabila mereka telah melewati kami maka kami buka jilbab itu."

Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:



Hadits ini dha'if, karena di dalam isnadnya terdapat Yazid bin Abi Ziyad, sedangkan dia menjadi pembicaraan. Sedangkan hadits dha'if tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum.



Apa yang dilakukan Aisyah dalam hadits ini (seandainya bersanad sahih) tidak menunjukkan kepada wajib, karena perbuatan Rasul sendiri tidak menunjukkan hukum wajib, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang yang selain beliau?



Kita mengenal kaidah dalam ushul: "bahwa suatu kejadian yang mengandung serba kemungkinan, maka ia adalah mujmal (global) karena itu tidak dapat dijadikan dalil."

Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi disini ialah bahwa hal itu merupakan hukum khusus mengenai para ummul mu'minin (istri-istri Nabi saw.) disamping hukum-hukum khusus lainnya untuk mereka, seperti haramnya mengawini mereka sepeninggal Rasulullah saw., dan sebagainya.24



Riwayat Imam Tirmidzi secara marfu':



"Wanita itu aurat; apabila ia keluar maka ia didekati oleh setan."25

Sebagian ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menjadikan hadits ini sebagai dasar untuk menetapkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, serta mereka tidak mengecualikan wajah, tangan, dan kaki. Sebenarnya hadits ini tidak menetapkan hukum secara menyeluruh sebagaimana yang mereka kemukakan itu, tetapi hanya menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita itu terlindungi dan tertutup, tidak terbuka dan terhina. Dan hadits ini cukup menetapkan bahwa sebagian besar tubuh wanita itu aurat. Andaikata hadits ini hanya diambil pengertian lahiriahnya, niscaya tidak boleh membuka sedikit pun tubuhnya dalam shalat dan haji, tetapi hal ini bertentangan dengan dalil yang sahih dan meyakinkan - tentang dibukanya wajah dan tangan dalam shalat dan haji.

Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bahwa wajah dan tangan itu aurat, padahal sudah disepakati tentang dibukanya pada waktu shalat dan wajib membukanya pada waktu ihram? Apakah masuk akal bahwa syara' memperbolehkan membuka aurat pada waktu shalat dan mewajibkan membukanya pada waktu ihram - kalau wajah dan tangan itu termasuk aurat?



Ada dalil lain yang dipakai golongan yang mewajibkan cadar ini apabila mereka tidak mendapatkan dalil nash yang muhkamat, yaitu mereka menggunakan saddudz dzari'ah (menutup pintu kerusakan/usaha preventif). Inilah senjata mereka yang termasyhur apabila senjata-senjata lainnya sudah tumpul.

Saddudz dzari'ah ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu yang mubah karena dikhawatirkan akan terjatuh pada yang haram. Tetapi' hal ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha, antara golongan yang melarang dan memperbolehkan (penggunan teori ini), serta antara yang memperlapang dan mempersempit. Al-Allamah Ibnul Qayyim mengemukakan sembilan alasan yang menunjukkan disyariatkannya saddudz dzari'ah ini dalam kitab beliau llam al-Muwaqqi'in.

Tetapi, yang sudah menjadi ketetapan para muhaqqiq dari kalangan ulama fiqih dan ushul ialah bahwa berlebih-lebihan dalam menutup "pintu/jalan" sama dengan berlebih-lebihan dalam membukanya. Berlebihan dalam membuka "jalan" akan mengakibatkan banyak kerusakan yang membahayakan manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Sedangkan berlebihan dalam menutup "jalan" akan menghilangkan banyak sekali kemaslahatan manusia dalam urusan kehidupan dan urusan akhirat mereka.

Apabila Asy-Syari' (Allah dan Rasul-Nya) telah membuka sesuatu dengan nash dan kaidah, maka kita tidak boleh menutupnya dengan pemikiran dan kekhawatiran-kekhawatiran kita, lantas kita halalkan apa yang telah diharamkan Allah atau kita membuat syariat yang tidak diizinkan llah.

Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat dengan alasan "membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaum wanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas mengatakan:



"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke masjid-masjid Allah." (HR Muslim)

Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama maupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.

Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan fitnah. Seperti kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita sendiri.



Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan sebagainya.

Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai penilaian, karena itu diatasnya hukum ditegakkan."

Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya wanita memandang laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka.

Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan beberapa alasan sebagai berikut:



Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik, yaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat (yakni tabi'in).



Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.



Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?

Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima sebagai 'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan bahwa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahwa mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama.



'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.

Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan berubah sesuai dengan perubahannya.




Subhat Terakhir


Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama yang ingin mempersempit ruang kebebasan wanita, yang ringkasnya sebagai berikut:

"Kami menerima argumentasi yang Anda kemukakan tentang disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya, sebagaimana kami juga menerima bahwa kaum wanita pada periode pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin - tidak memakai cadar melainkan pada keadaan tertentu saja yang sedikit jumlahnya.

Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu merupakan zaman yang ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita aman membuka wajahnya tanpa ada seorang pun yang mengganggunya. Berbeda dengan zaman kita dimana kerusakan sudah merajalela, dekadensi moral terjadi dimana-mana, fitnah menimpa manusia dimana-mana, maka tidak ada yang lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa mengintainya di setiap penjuru."

Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawaban sebagai berikut:

PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak dan ketinggian rohaninya, tetapi mereka masih termasuk periode manusia juga, yang didalamnya ada kelemahan, hawa nafsu, dan kesalahan. Karena itu di antara mereka ada orang yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had, ada yang melakukan tindakan-tindakan yang masih dibawah zina, ada orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila dan sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat al-Ahzab) yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan jilbab ke tubuh mereka agar mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita merdeka yang sopan dan menjaga diri hingga tidak diganggu:



"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab: 59)

Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surat al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika mereka tidak mau meninggalkan perbuatan mereka yang hina itu. Allah berfirman:



"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dialam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)

KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah - apabila telah sah dan jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan dalil lagi. Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya bersifat temporal, tidak abadi, dan hal ini bertentangan dengan predikatnya sebagai syariat terakhir.

KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita bisa saja menasakh (menghapus) syariat dengan pikiran kita, orang-orang yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang mudah dan ringan dengan alasan wara' dan hati-hati, dan orang-orang yang longgar dapat menasakh hukum-hukum yang telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.

Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan yang dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk kepada peraturan kita:



"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 )


Beberapa Pernyataan Yang Menguatkan Pendapat Jumhur


Saya percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah saya kemukakan argumentasi kedua belah pihak, dan semakin jelas bagi kita bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang jalannya.

Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat melegakan hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah.

PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan Pengharaman Kecuali dengan Nash yang Sahih dan Sharih

Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu urusan yang serius, bukan urusan sembarangan, sehingga kita tidak mewajibkan kepada manusia apa yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau kita mengharamkan kepada mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, atau kita membuat syariat atau peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah.

Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah diketahui pengharamannya secara pasti sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.

Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala tindakan yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka apabila tidak didapati nash yang shahih tsubut (periwayatannya) dan sharih (jelas) petunjuknya yang menunjukkan keharamannya, tetaplah hal itu pada asal kebolehannya. Dan orang yang memperbolehkannya tidak dituntut dalil, karena apa yang ada menurut hukum asal tidak perlu ditanyakan 'illat-nya, justru yang dituntut agar mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26

Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak saya jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i yang tidak meragukan, karena Dia telah berfirman:



"... sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..." (al-An'am: 119)

Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita dapati masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan. Maka tidak perlulah kita mempersukar apa yang telah dimudahkan Allah, sehingga kita tidak tergolong ke dalam kaum yang disinyalir oleh Allah karena mengharamkan makanan yang halal:



"... Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?'" (Yunus: 59)

KEDUA: Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman

Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi.

Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan sesuatu kepada kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima pendapat-pendapat yang mudah, yang menguatkan posisi dan kepribadian kaum wanita.

Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris, Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi buruk kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya kepada Islam itu sendiri. Mereka juga berusaha menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat Islam beserta ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan gambaran yang tidak cocok dengan hakikat yang dibawa oleh Islam.

Karena itu saya melihat bahwa keunggulan pendapat dari sebagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang menyadarkan kaum wanita dan peran serta kaum wanita serta kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan hak-hak syar'iyahnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah.

KETIGA: Bencana Umum

Saya persilakan wanita muslimah yang sedang sibuk menjalankan dakwah agar tidak memakai cadar, supaya tidak terjadi pemisahan antara mereka dengan wanita-wanita muslimah lainnya, karena kemaslahatan dakwah disini lebih penting daripada melaksanakan pendapat yang dipandangnya lebih hati-hati.

Diantara hal yang tidak diperdebatkan lagi ialah bahwa terjadinya "bencana umum" (meratanya bencana) di kalangan masyarakat ialah disebabkan oleh sikap meringankan dan mempermudah urusan sebagai yang sudah diketahui oleh orang-orang yang sibuk menggeluti ilmu fiqih dan ushul fiqih, dan untuk ini terdapat banyak fakta dan data.

Dan bencana telah merajalela pada hari ini dengan keluarnya kaum wanita ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, tempat-tempat kerja, rumah-rumah sakit, pasar-pasar, dan sebagainya. Mereka sudah tidak betah lagi tinggal di rumah sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Semua ini menuntut mereka untuk membuka wajah dan tangannya agar memudahkan gerak dan pergaulan mereka dengan kehidupan dan makhluk hidup, dalam mengambil dan memberi, menjual dan membeli, memahami dan memberikan pemahaman.

Alangkah baiknya kalau semua persoalan itu hanya berhenti pada yang mubah atau yang diperselisihkan saja seperti mengenai membuka wajah dan telapak tangan. Tetapi persoalannya sudah melaju kepada yang sudah jelas-jelas haram, seperti membuka bahu dan betis, kepala, leher, dan kuduk, dan wanita-wanita muslimah juga ada yang melakukan bid'ah-bid'ah Barat (mode-mode) itu. Disisi lain, kita jumpai pula wanita-wanita muslimah yang berpakaian tetapi telanjang, yang bergaya dan berlenggak-lenggok dengan dandanan dan mode rambut sedemikian rupa, persis seperti yang disinyalir dalam hadits sahih dengan sinyalemen yang sangat jitu dan tepat.

Bagaimana kita akan bersikap ketat dalam masalah ini, sedangkan kebebasan dan kebinalan ini sudah terjadi di depan mata kita?

Sesungguhnya peperangan ini tidak hanya seputar "wajah dan telapak tangan": apakah boleh dibuka ataukah tidak? Tetapi peperangan yang sebenarnya ialah dengan mereka yang hendak menjadikan wanita muslimah sebagai potret wanita Barat, dan hendak melepaskan identitasnya dan melucuti ghirah islamiyahnya, lantas mereka keluar rumah dengan berpakaian tetapi telanjang, dengan berlenggak-lenggok miring ke kanan dan ke kiri.

Karena itu tidak boleh bagi saudara-saudara kita dan putri-putri kita yang "bercadar" serta ikhwan dan putra-putra kita yang "menyerukan cadar" membidikkan panahnya kepada saudara-saudara mereka yang "berhijab" (dengan tidak bercadar) dan ikhwan mereka "yang menyerukan hijab," yang merasa mantap dengan pendapat jumhur umat. Tetapi hendaklah mereka membidikkan panahnya kepada orang-orang yang menyerukan budaya buka-bukaan, telanjang, dan melepaskan adab Islam.

Sesungguhnya wanita muslimah yang mengenakan hijab syar'i itu sendiri sering berperang (berjuang) menghadapi lingkungannya, keluarganya, dan masyarakatnya sehingga mereka dapat melaksanakan perintah Allah untuk mengenakan hijab, maka bagaimanakah kita akan mengatakan kepadanya: "Sesungguhnya Anda melakukan dosa dan maksiat, karena Anda tidak memakai cadar"?

KEEMPAT: Masyaqqah (Kesulitan) Mendatangkan Kemudahan

Sesungguhnya mewajibkan wanita muslimah - lebih-lebih pada zaman kita sekarang ini - untuk menutup wajah dan tangannya berarti memberikan kesulitan dan kesukaran serta kemelaratan kepada mereka. Padahal Allah Ta'ala telah meniadakan kesulitan, kesukaran, dan kemelaratan dalam melaksanakan agama-Nya, bahkan ditegakkan-Nya agama-Nya itu diatas dasar kelapangan, kemudahan, keringanan, dan rahmat kasih sayang. Allah berfirrnan:



"... dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ..." (al-Hajj: 78)

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185)

"...Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28)

Rasulullah saw. bersabda:



"Aku diutus dengan membawa agama yang lembut dan lapang (toleran). (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Maksudnya, lurus dalam aqidahnya dan lapang dalam hukum-hukumnya.

Sedangkan para fuqaha telah menetapkan dalam kaidahnya: "Kesukaran itu menarik kemudahan."

Nabi saw. telah menyuruh kita untuk memberikan kemudahan dan jangan memberikan kesukaran, memberikan kegembiraan dan jangan menjadikan orang lari. Kita ditampilkan untuk memberi kemudahan bukan untuk memberi kesulitan.


Beberapa Peringatan



Ada beberapa peringatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk kita perhatikan:

Bahwa membuka wajah disini tidak dimaksudkan agar si wanita memolesnya dengan bermacam-macam bedak dan parfum yang berwarna-warni. Begitupun membuka tangan disini tidak dimaksudkan agar mereka memanjangkan kukunya dan mengecatnya dengan apa yang mereka namakan manukir. Tetapi hendaklah dia keluar dengan sopan, tidak bersolek dan ber-make-up warna-warni, dan tidak tabarruj (menampakkan aurat, berpakaian mini, atau berpakaian yang tipis, atau yang membentuk lekuk tubuh). Semua yang diperbolehkan disini adalah perhiasan yang ringan-ringan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya, yaitu celak di mata dan cincin di jari.



Pendapat yang mengatakan tidak wajib bercadar tidak berarti mereka berpendapat bahwa memakai cadar itu tidak boleh. Maka barangsiapa diantara kaum wanita yang ingin memakai cadar, tidak ada larangan, bahkan hal yang demikian terkadang disukai - menurut pandangan sebagian orang yang cenderung bersikap hati-hati, apabila wanita itu cantik yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, lebih-lebih jika memakai cadar itu tidak menyulitkannya dan tidak menimbulkan pergunjingan orang banyak. Bahkan banyak ulama yang mengatakannya wajib jika kondisinya demikian (bisa menimbulkan fitnah). Tetapi saya tidak menemukan dalil yang mewajibkan menutup wajah ketika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Sebab ini merupakan masalah yang tidak ada ukurannya, dan kecantikan itu sendiri sifatnya relatif, ada wanita yang oleh sebagian orang dianggap sangat cantik, tetapi oleh sebagian yang lain dianggap biasa-biasa saja, dan oleh yang lain lagi dianggap tidak cantik.

Beberapa penulis bahkan mengemukakan, hendaklah wanita menutup wajahnya apabila ada laki-laki ingin berlezat-lezat memandangnya atau mengkhayalkannya. Namun masalahnya, dari mana wanita tersebut mengetahui bahwa ada laki-laki ingin berlezat-lezat dengannya atau mengkhayalkannya (sehingga ia wajib menutup mukanya)?

Oleh karena itu, yang lebih utama daripada menutup muka ialah hendaknya wanita tersebut menjauhi lapangan yang bisa menimbulkan fitnah, jika ia menaruh perhatian terhadap masalah itu.



Bahwa tidak ada kaitan antara membuka wajah dengan kebolehan melihatnya. Maka diantara ulama ada yang memperbolehkan membuka wajah tetapi tidak memperbolehkan melihatnya, kecuali pada pandangan pertama yang selintas. Ada pula yang memperbolehkan melihat apa yang diperbolehkan melihatnya itu, apabila tidak disertai dengan syahwat; jika disertai dengan syahwat atau dimaksudkan untuk membangkitkan syahwat, maka haram melihatnya, dan pendapat inilah yang saya pilih.



Allah-lah yang memberi pertolongan dan petunjuk ke jalan yang lurus.


Catatan kaki:

1 Al-Ikhtiyar li-Ta'lilil Mukhtar, karya Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Maushili al-Hanafi, 4: 156.

2 Hasyiyah ash-Shawi 'alaa asy-Syarh ash-Shaghir, dengan ta'liq, Dr. Mushthafa Kamal Washfi, terbitan Darul Mawarif, Mesir, 1: 289.

3 Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu': "Tafsir yang disebutkan dari Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Abbas dan dari Aisyah juga."

4 Hadits ini tersebut dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Umar r.a. bahwa RasuluDah saw. Bersabda: "Janganlah wanita yang berihram memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan."

5 al-Majmu', 3: 167-168

6 Al-Majmu', karya Imam Nawawi. 3: 169

7 Periksa ad-Durul Mantsur oleh as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 31 surat an-Nur.

8 Al-Muhalla, 3: 279.

9 Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi dalam asy-Syu'ab dari Ubadah, dan dihasankan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir, (1018).

10 HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim dari Buraidah, dan dihasankan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir (7953)

11 Dalam "Kitab an-Nikah"' hadits nomor 1403

12 Disebutkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah, nomor 235.

13 Sunan Tirmidzi, "Bab al-Haj," nomor 885

14 Nailul Athar, 6: 126.

15 Al-Muhalla, 3: 280

16 Hadits nomor 1141 dan Sunan Abi Daud, dan Imam Nasa'i juga meriwayatkan hadits ini.

17 Al-Muhalla 11: 221 masalah nomor 1881.

18 Dikemukakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid, 10: 192 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Thabrani dan isnadnya bagus." Dan kata al-'air di sini berarti al-himar. Sebelumnya beliau telah menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan itu.

19 HR Abu Daud dalam Sunan-nya pada "Kitab al-Jihad," nomor 2488.

20 Shahih Muslim Syarah Nawawi, 2: 542, terbitan Asy-Sya'b.

21 Yakni gelang kaki dan sebagainya.

22 Mawahibul Jalil, 1: 148, terbitan Idarah Ihya' at-Turats al-Islami. Qathar.

23 Shahih al-Bukhari, 1: 316.

24 Mawahibul Jalil min Adiliati Khalil 1: 185.

25 Imam Tirmidzi berkala: "Hadits ini hasan sahih."

26 Berbeda dengan masalah ibadah yang pada asalnya tidak boleh (haram/batil) sehingga ada dalil yang memerintahkannya. Maka orang yang tidak memperbolehkan melakukan suatu bentuk ibadah tidak dituntut dalilnya, tetapi yang dituntut mengemukakan dalil ialah orang yang mendakwakan adanya ibadah tersebut. (Penj.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar